Hakim Ketua Memutuskan 5 Tahun Penjara Kepada Ahmad Yani Bupati Non Aktif
Muara Enim, Liputansumsel.com
Ahmad Yani Bupati Muara Enim non aktif telah divonis 5 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp. 2,1 miliar dalam perkara korupsi suap 16 paket proyek jalan dan jembatan senilai Rp130 Miliar pada Tahun 2019.
Petikan vonis dibacakan Hakim Ketua Erma Suharti dalam persidangan telekonferensi di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (5/5/2020).
"Mengadili dan memutuskan bahwa terdakwa Ahmad Yani terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan, menjatuhkan kepadanya pidana selama 5 tahun penjara serta denda uang sebesar Rp. 200 juta," ujar Erma Suhartini membacakan vonis.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta terdakwa divonis 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta subsider 6 bulan serta membayarkan uang pengganti senilai Rp. 3,1 Miliar.
Majelis Hakim menyatakan Ahmad Yani terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat ke 1 KUHP junto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Ahmad Yani juga diminta membayarkan uang pengganti sebesar Rp. 2,1 Miliar yang sudah digunakannya, jika tidak dibayarkan maka aset terdakwa dapat disita atau jika tidak mencukupi maka dikenai hukuman tambahan delapan bulan penjara.
Ahmad Yani terbukti menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala Daerah (Bupati) untuk mengatur penunjukan rekanan yang akan mengerjakan 16 paket proyek jalan senilai 130 Miliar yang bersumber dari dana aspirasi.
Ia telah menentukan kontraktor pelaksana proyek jalan sebelum proses lelang, modusnya mempersulit kontraktor lain dalam memenuhi kriteria pengerjaan proyek tersebut.
Ahmad Yani menunjuk terdakwa lainnya, yakni Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin Muchtar untuk mengatur jalannya tender tersebut.
Agar perusahaan kontraktor milik terpidana Robi Okta Pahlevi yang ditentukannya sejak awal berhasil mendapatkan 16 paket proyek jalan, namun dalam prosesnya Ahmad Yani juga meminta komitmen fee sebesar 15 persen dari total nilai proyek itu.
Atas tuntutan vonis itu terdakwa Ahmad Yani melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengatakan akan pikir-pikir meski merasa kecewa karena majelis hakim tidak mempertimbangkan keabsahan barang bukti dan saksi.
"Menyangkut mobil Lexus misalnya, dalam catatan Pemda Muara Enim statusnya pinjaman, namun hakim tidak menganggapnya demikian," ujar Maqdir.
Selain itu juga seharusnya penyidik dan penuntut turut memanggil ajudan dan keponakan Kapolda Sumsel masa itu, Irjen Pol Firli Bahuri, dalam mempertimbangkan barang bukti uang USD 35.000, bukan menjadikanya beban untuk Ahmad Yani.
"Kami juga melihat seolah-olah keterangan dari terdakwa Elfin benar semua, tidak ada yang dibantah saksi, menurut kami itu tidak fair,"kata Maqdir.
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim juga menolak tuntutan JPU KPK yang meminta hak politik Ahmad Yani untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun dicabut.
Sementara itu, asas putusan majelis hakim tersebut, JPU KPK memilih pikir-pikir.
Ahmad Yani, Elfin Muchtar dan Robi Okta Pahlevi diamankan KPK dalam OTT pada 3 September 2019, dari penangkapan itu KPK berhasil menyelamatkan USD. 35.000 yang sudah disiapkan terpidana Robi Okta Pahlevi untuk Ahmad Yani.
Sebelumnya Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin Muchtar telah divonis empat tahun penjara dan denda Rp.200 juta serta mengembalikan uang pengganti senilai Rp2,6 miliar pada 28 April 2020, ia menjadi kaki tangan Ahmad Yani.
Sementara Robi Okta Pahlevi sebelumnya telah divonis tiga tahun penjara dan denda Rp.250 juta subsider 6 bulan pada 28 Januari 2019 karena terbukti menyuap Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani.
Disisi lain M. Ary Asnawi sebagai Anggota DPP LARM GAK Muara Enim dan Alan Anggota BP3RI Sumsel memberi tanggapan mengenai putusan hakim tersebut.
"Kami menilai putusan tersebut terlalu ringan dari apa yang sudah terdakwa perbuat yang berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemimpin daerah dan berimbas juga kepada kualitas pembangunan daerah,"ujarnya.
Ahmad Yani Bupati Muara Enim non aktif telah divonis 5 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp. 2,1 miliar dalam perkara korupsi suap 16 paket proyek jalan dan jembatan senilai Rp130 Miliar pada Tahun 2019.
Petikan vonis dibacakan Hakim Ketua Erma Suharti dalam persidangan telekonferensi di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (5/5/2020).
"Mengadili dan memutuskan bahwa terdakwa Ahmad Yani terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan, menjatuhkan kepadanya pidana selama 5 tahun penjara serta denda uang sebesar Rp. 200 juta," ujar Erma Suhartini membacakan vonis.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta terdakwa divonis 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta subsider 6 bulan serta membayarkan uang pengganti senilai Rp. 3,1 Miliar.
Majelis Hakim menyatakan Ahmad Yani terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat ke 1 KUHP junto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Ahmad Yani juga diminta membayarkan uang pengganti sebesar Rp. 2,1 Miliar yang sudah digunakannya, jika tidak dibayarkan maka aset terdakwa dapat disita atau jika tidak mencukupi maka dikenai hukuman tambahan delapan bulan penjara.
Ahmad Yani terbukti menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala Daerah (Bupati) untuk mengatur penunjukan rekanan yang akan mengerjakan 16 paket proyek jalan senilai 130 Miliar yang bersumber dari dana aspirasi.
Ia telah menentukan kontraktor pelaksana proyek jalan sebelum proses lelang, modusnya mempersulit kontraktor lain dalam memenuhi kriteria pengerjaan proyek tersebut.
Ahmad Yani menunjuk terdakwa lainnya, yakni Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin Muchtar untuk mengatur jalannya tender tersebut.
Agar perusahaan kontraktor milik terpidana Robi Okta Pahlevi yang ditentukannya sejak awal berhasil mendapatkan 16 paket proyek jalan, namun dalam prosesnya Ahmad Yani juga meminta komitmen fee sebesar 15 persen dari total nilai proyek itu.
Atas tuntutan vonis itu terdakwa Ahmad Yani melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengatakan akan pikir-pikir meski merasa kecewa karena majelis hakim tidak mempertimbangkan keabsahan barang bukti dan saksi.
"Menyangkut mobil Lexus misalnya, dalam catatan Pemda Muara Enim statusnya pinjaman, namun hakim tidak menganggapnya demikian," ujar Maqdir.
Selain itu juga seharusnya penyidik dan penuntut turut memanggil ajudan dan keponakan Kapolda Sumsel masa itu, Irjen Pol Firli Bahuri, dalam mempertimbangkan barang bukti uang USD 35.000, bukan menjadikanya beban untuk Ahmad Yani.
"Kami juga melihat seolah-olah keterangan dari terdakwa Elfin benar semua, tidak ada yang dibantah saksi, menurut kami itu tidak fair,"kata Maqdir.
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim juga menolak tuntutan JPU KPK yang meminta hak politik Ahmad Yani untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun dicabut.
Sementara itu, asas putusan majelis hakim tersebut, JPU KPK memilih pikir-pikir.
Ahmad Yani, Elfin Muchtar dan Robi Okta Pahlevi diamankan KPK dalam OTT pada 3 September 2019, dari penangkapan itu KPK berhasil menyelamatkan USD. 35.000 yang sudah disiapkan terpidana Robi Okta Pahlevi untuk Ahmad Yani.
Sebelumnya Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin Muchtar telah divonis empat tahun penjara dan denda Rp.200 juta serta mengembalikan uang pengganti senilai Rp2,6 miliar pada 28 April 2020, ia menjadi kaki tangan Ahmad Yani.
Sementara Robi Okta Pahlevi sebelumnya telah divonis tiga tahun penjara dan denda Rp.250 juta subsider 6 bulan pada 28 Januari 2019 karena terbukti menyuap Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani.
Disisi lain M. Ary Asnawi sebagai Anggota DPP LARM GAK Muara Enim dan Alan Anggota BP3RI Sumsel memberi tanggapan mengenai putusan hakim tersebut.
"Kami menilai putusan tersebut terlalu ringan dari apa yang sudah terdakwa perbuat yang berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemimpin daerah dan berimbas juga kepada kualitas pembangunan daerah,"ujarnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar